Skip to main content

peran keluarga dalam merawat pasien gangguan jiwa yang mengalami kekambuhan di wilayah kerja

BAB I

PENDAHULUAN


    1. Latar Belakang

Hingga sekarang penanganan penderita gangguan jiwa belumlah memuaskan, hal ini terutama terjadi di negara yang sedang berkembang, disebabkan ketidaktahuan (ignorancy) keluarga maupun masyarakat terhadap jenis gangguan jiwa diantaranya adalah masih terdapatnya pandangan yang negative (stigma) dan bahwa gangguan jiwa bukanlah suatu penyakit yang dapat diobati dan disembuhkan. Kedua hal tersebut di atas menyebabkan penderita gangguan jiwa mengalami perlakuan yang diskriminatif dan tidak mendapatkan pertolongan yang memadai. (Dadang Hawari, 2001)

Kekambuhan gangguan jiwa psikotik adalah munculnya kembali gejala-gejala psikotik yang nyata. Angka kekambuhan secara positif hubungan dengan beberapa kali masuk rumah sakit, lamanya dan perjalanan penyakit penderita-penderita yang kambuh biasanya sebelum keluar dari rumah sakit mempunyai karakteristik hiperaktif, tidak mau minum obat dan memiliki sedikit keterampilan sosial. (Porkony dkk, dalam Akbar,2008)

Gangguan jiwa tidak hanya menimbulkan penderitaan bagi individu penderitanya tetapi juga bagi orang yang terdekatnya. Biasanya keluargalah yang paling terkena dampak bagi hadirnya gangguan jiwa di keluarga mereka. Selain biaya perawatan tinggi pasien juga membutuhkan perhatian dan dukungan yang lebih dari masyarakat terutama keluarga, sedangkan pengobatan gangguan jiwa membutuhkan waktu yang relative lama, bila pasien tidak melanjutkan pengobatan maka akan mengalami kekambuhan (Imam Setiadi Arif,2006

Berdasarkan data dinas kesehatan Kabupaten .............. pada Tahun 2009 Pasien yang mengalami gangguan jiwa di Kabupaten .............. ditemukan sebanyak 13709 pasien dan di Puskesmas Kedungpring Tahun 2009 sebanyak 218 pasien sedangkan yang mengalami kekambuhan diwilayah Puskesmas Kedungpring sebanyak 20 pasien.

Hasil survey awal dan hasil wawancara dengan keluarga pasien gangguan jiwa di wilayah kerja Puskesmas Kedungpring, Bulan Januari 2010 ternyata dari 20 pasien gangguan jiwa didapatkan 12 orang atau 60% pasien gangguan jiwa yang mengalami kekambuhan dan 8 orang 40% yang tidak mengalami kekambuhan. Dari data diatas menunjukkan bahwa permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagian besar pasien gangguan jiwa mengalami kekambuan.

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pasien gangguan jiwa mengalami kekambuhan antara lain yaitu, pengetahuan, pendidikan, informasi, sosial ekonomi, dan peran keluarga.

Pengetahuan adalah merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia yaitu indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kongnitip merupakan dominan yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang atau overt behavior. (Soekidjo Notoatmodjo ; 2003). Dengan pengetahuan yang adekuat keluarga dan pasien gangguan jiwa dapat mengerti perjalanan pasien gangguan jiwa yang pada dasarnya dapat di sembuhkan dengan minum obat secara teratur. Sebaliknya dengan pengetahuan yang inadekuat keluarga dan pasien gangguan jiwa tidak mengerti bahwa gangguan jiwa dapat diobati dan di sembuhkan secara medis.

Pendidikan secara umum adalah segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan. (Soekidjo Notoatmojo, 2003). Semakin tinggi pendidikan seseorang maka akan lebih mudah menerima informasi kesehatan jiwa yang diberikan oleh petugas kesehatan sehingga mempengaruhi pikiran seseorang dalam pengambilan suatu keputusan upaya untuk mengobati suatu penyakit. Sebaliknya semakin rendah pendidikan seseorang maka akan sulit menerima informasi karena kurangnya pengetahuan terhadap perjalanan gangguan jiwa.

Informasi merupakan kumpulan data yang diolah menjadi bentuk yang lebih berguna dan lebih berarti bagi yang menerima. (Andi Kristaoto, 2003 ). Informasi yang akurat tentang gangguan jiwa, gejala gejalanya dan perjalanan penyakitnya, berbagai bantuan medis dan psikologis yang dapat meningkatkan gejala gangguan jiwa merupakan informasi yang sangat diperlukan keluarga. Informasi yang tepat akan menghilangkan saling menyalakan satu sama lain, memberikan pegangan untuk berharap secara realistis dan membantu keluarga mengarahkan sumber daya yang mereka miliki pada usaha yang produktif. Sebaliknya informasi yang kurang akan memberikan pengertian yang salah terhadap gangguan jiwa.

Sosial ekonomi merupakan faktor yang sering di lihat hubungannya dengan fenomena dan peningkatan angka kejadian dari suatu penyakit, sosial ekonomi ini di tentukan oleh beberapa unsur seperti pendidikan, pekerjaan, penghasilan dan di tentukan pula pada tempat tinggal. (Soekidjo Notoatmojo, 2003). Sosial ekonomi mempunyai pengaruh yang besar pada pasien gangguan jiwa dimana keadaan sosial ekonomi yang tinggi pasien dapat melanjutkan pengobatan karena mampu memenuhi kebutuhannya, sebaliknya keadaan sosial ekonomi yang rendah dapat menghambat dan membuat pasien gangguan jiwa tidak melanjutkan pengobatannya karena ketidakmampuan memenuhi kebutuhanya.

Keluarga pada hakikatnya merupakan jalinan relasi anggota-anggotanya, merupakan ruang hidup (holding and environment/potential space) bagi para anggotanya. Dalam ruang hidup tersebut para anggota keluarga hidup, berkembang dan berelasi satu sama lain. (Imam Setiadi Arif, 2006). Peran keluarga sangat penting terhadap pasien gangguan jiwa karena pasien gangguan jiwa sangat memerlukan perhatian dari keluarganya. Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberikan perawatan langsung pada setiap keadaan sehat maupun sakit pasien. Umumnya keluarga akan meminta bantuan tenaga kesehatan jika mereka tidak sanggup lagi merawatnya. Apabila keluarga memahami kebutuhan anggota keluarganya yang sakit maka keluarga akan memberikan dukungan untuk melakukan pengobatan. Sebaliknya apabila keluarga tidak memahami kebutuhan anggota keluarganya yang sakit, maka akan memperburuk perjalanan gangguan jiwa karena pasien tidak mendapatkan perhatian dan dukungan yang semestinya diberikan oleh keluarganya.

Upaya yang dapat dilakukan agar pasien gangguan jiwa melanjutkan pengobatannya yaitu dengan memprioritaskan fasilitas pengobatan gangguan jiwa, meningkatkan mutu dan mengembangkan kegiatan pelayanan kesehatan jiwa. Penyegaran pengetahuan gangguan mental emosional terhadap dokter dan perawat dilakukan secara periodik, disamping itu perlu juga dipertimbangkan tentang perubahan konsep figur psikiater dimasyarakat. Sehingga diharapkan pelayanan kesehatan jiwa dimasyarakat tidak hanya menunggu pasien datang berobat ke fasilitas kesehatan jiwa. Pelayanan prevensi skunder atau mendorong pasien berobat melalui peningkatan pengetahuan gangguan mental emosional terhadap keluarga dan pasien gangguan jiwa, penting bagi keluarga mengupayakan holding environment dengan memecahkan atau mengurangi konflik yang ada diantara mereka dan mempererat relasi dalam keluarga. Mengingat banyaknya faktor yang menyebabkan kekambuhan pasien gangguan jiwa, maka penelitian ini membatasi pada faktor peran keluarga terhadap kekambuhan pasien gangguan jiwa diwilayah kerja Puskesmas Kedungpring.


1.2 Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalah yaitu: “Bagaimana peran keluarga dalam merawat pasien gangguan jiwa yang mengalami kekambuhan di wilayah kerja puskesmas kedungpring?”


1.3 Tujuan Penelitian

Mengetahui gambaran peran keluarga dalam merawat pasien gangguan jiwa yang mengalami kekambuhan di wilayah kerja puskesmas kedungpring.


1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

1) Bagi Profesi Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan-masukan bagi profesi dalam mengembangkan ilmu keperawatan kesehatan jiwa khususnya dalam hal peran keluarga pasien gangguan jiwa.

Comments

Popular posts from this blog

Hubungan antara peran keluarga dan tingkat kecemasan Ibu hamil untuk melakukan hubungan sexual selama kehamilan trimester III

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada manusia sexualitas dapat dipandang sebagai pencetus dari hubungan antara individu, dimana daya tarik rohaniah dan badaniah atau psikofisik menjadi dasar kehidupan bersama antara 2 insan manusia (Hanifa Wiknjosastro, 1999:589). Menurut A. Maslow dikutip oleh Soekidjo Notoatmodjo (2003:500, mengemukakan bahwa kebutuhan manusia terdiri dari 5 tingkat, yaitu kebutuhan fisik, keamanan, pengalaman dari orang lain, harga diri dan perwujudan diri. Maslow juga mengungkapkan bahwa kebutuhan manusia yang paling dasar harus terpenuhi dahulu sebelum seseorang mampu mencapai kebutuhan yang lebih tinggi tingkatannya. Salah satu dari kebutuhan fisik atau kebutuhan yang paling dasar tersebut adalah sexual. Kebutuhan sexual juga harus diperhatikan bagaimana cara pemenuhannya seperti halnya dengan kebutuhan fisik lainnya, meskipun seseorang dalam keadaan hamil. 1 Walaupun sebenarnya sexual

gambaran pengetahuan keluarga dalam perawatan pasien gangguan jiwa Skizofrenia di URJ Psikiatri

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Gangguan jiwa merupakan salah satu dari empat masalah kesehatan utama di Negara maju, modern dan industri keempat masalah kesehatan utama tersebut adalah penyakit degeneratif, kanker, gangguan jiwa, dan kecelakaan. Meskipun gangguan jiwa tersebut tidak dianggap sebagai gangguan yang menyebabkan kematian secara langsung namun beratnya gangguan tersebut dalam arti ketidakmampuan serta identitas secara individu maupun kelompok akan menghambat pembangunan, karena mereka tidak produktif dan tidak efisien (Dadang Hawari, 2001 : ix ). Gangguan jiwa Skizofrenia tidak terjadi dengan sendirinya begitu saja akan tetapi banyak faktor yang menyebabkan terjadinya gejala Skizofrenia . Berbagai penelitian telah banyak dalam teori biologi dan berfokus pada penyebab Skizofrenia yaitu faktor genetik, faktor neurotomi dan neurokimia atau struktur dan fungsi otak serta imunovirologi atau respon tubuh terhadap perjalanan suatu virus (Sheila L Videbec

gambaran pengetahuan ibu tentang pemberian MP-ASI pada bayi usia 0-6 bulan

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan dan minuman yang paling sempurna bagi bayi selama bulan-bulan pertama kehidupannya (Margaret Lowson, 2003). Sejak awal kelahirannya sampai bayi berusia 6 bulan, ASI merupakan sumber nutrisi utama bayi. Komposisi ASI sempurna sesuai kebutuhan bayi sehingga walaupun hanya mendapatkan ASI dibeberapa bulan kehidupannya, bayi bisa tumbuh optimal. ASI sangat bermanfaat untuk kekebalan tubuh bayi karena didalamnya terdapat zat yang sangat penting yang sudah terbukti melawan berbagai macam infeksi, seperti ISPA, peradangan telinga, infeksi dalam darah dan sebagainya. Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) merupakan makanan lain yang selain ASI. Makanan ini dapat berupa makan yang disiapkan secara khusus atau makanan keluarga yang dimodifikasi (Lilian Juwono: 2003). Pada umur 0-6 bulan, bayi tidak membutuhkan makanan atau minuman selain ASI. Artinya bayi hanya memperoleh susu ibu tanpa tambahan cairan lain,