Skip to main content

Gambaran Resosialisasi Penderita Kusta Pasca Pengobatan di Wilayah Puskesmas

BAB 1

PENDAHULUAN


    1. Latar Belakang Masalah

Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan nasional. (Depkes. RI, 2003). Penyakit kusta pada umumnya terdapat di negara- negara yang sedang berkembang, sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara itu dalam memberikan pelayanan yang memadai dalam bidang kesehatan, pendidikan, kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat.

Mekanisme penularan yang tepat belum diketahui. Beberapa jenis hipotesis telah dikemukakan seperti adanya kontak dekat dan penularan dari udara selain manusia, hewan yang dapat terkena kusta. Terdapat bukti bahwa tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman kusta Mycobacterium Lepra menderita kusta dan diduga faktor genetika juga ikut berperan. Setelah melalui penelitian dan pengamatan pada kelompok penyakit kusta dikeluarga tertentu belum diketahui pula mengapa terjadi kusta yang berbeda setiap individu (McNeil Jr DG, 2006)

Pandangan masyarakat terhadap penyakit kusta di masyarakat masih salah di mana banyak masyarakat yang mengucilkan penderita kusta. Hal ini disebabkan masih kurangnya pengetahuan dan sikap yang cenderung negatif, kepercayaan yang keliru terhadap penyakit kusta dan cacat yang ditimbulkan. Penderita yang mengalami tekanan batin terus-menerus dapat menyebabkan penderita tersebut menjauhkan diri dari lingkungan atau menarik diri dari pergaulan di masyarakat. Kondisi tersebut justru akan memperberat penderita dan menghambat proses pengobatan, oleh karena itu penatalaksanaan untuk penderita kusta di samping pengobatan dan pemberantasan kusta secara fisik dengan pengobatan juga harus memperhatikan kondisi psikis penderita tersebut.

Gambaran Resosialisasi merupakan sikap seseorang dalam hidupnya secara sadar dan tidak sadar kembali pada masyarakat (Stuart and Sundeen, 1998). Sikap ini mencakup persepsi tentang ukuran dan bentuk, fungsi, penampilan dan potensi tubuh saat ini dan masa lalu. Pada penderita kusta pasca pengobatan yang marasa adanya gangguan dengan bentuk dan fungsi tubuhnya dapat menyebabkan penderita tersebut menarik diri dan tidak mau bergabung dalam masyarakat lain.

Saat ini lebih dari 150.000.000 penduduk dunia yang menderita penyakit kusta. Angka prevalensi di Indonesia pada tahun 2009 adalah 0,81/10.000 penduduk atau 5849 orang menderita penyakit kusta. Walaupun angka ini sudah memenuhi untuk eliminasi tetapi penyebaran di berbagai provinsi tidak merata (Depkes RI, 2003). Sedangkan menurut data dari Dinas Kesehatan .............. penderita kusta akhir 2008 di 32 Puskesmas yang ada di .............. ada 554 penderita kusta, 3 orang diantaranya cacat. Di tahun 2009 meningkat hingga 775 penderita kusta dan yang cacat 17 orang.

Data rekam medis penderita kusta di wilayah Puskesmas Kalitengah Kabupaten .............., untuk tahun 2006 sebanyak 6 orang, tahun 2007 sebanyak 7 orang, tahun 2008 sebanyak 9 orang, tahun 2009 sebanyak 8 orang, dan tahun 2010 sebanyak 21 orang. Untuk data tertinggi penderita pada kurun waktu 5 tahun ini terjadi pada tahun 2010. Sedangkan berdasarkan pengamatan dan penelitian peneliti terdapat 13 orang (61,9%) dengan tipe kecacatan nol, 5 orang (23,8%) dengan kecacatan satu, dan 3 orang (14,2%) dengan tipe kecacatan dua. Data survey awal dilakukan pada 5 orang didapatan hasil 4 orang atau 80% penderita kusta pacsa pengobatan merasa malu dengan penyakit yang diderita dan kurang berinteraksi dengan tetangga, sedangkan 1 orang atau 20% tetap bertahan dengan penyakit yang diderita. Dari data tersebut di atas menunjukkan bahwa masih banyak penderita kusta pasca pengobatan merasa malu untuk bergaul atau bersosialisasi dengan masyarakat.

Faktor yang mempengaruhi penderita yang menarik diri/menjauh dari hidup kembali bersama masyarakat (resosialisasi) pada penderita kusta berasal dari internal dan eksternal. Faktor internal meliputi: pendidikan , pengetahuan, umur dan sikap. Sedangkan faktor eksternal adalah lingkungan sekitar penderita dan sosial ekonomi.

Pendidikan merupakan segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik individu, keluarga atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku (Soekidjo Notoatmodjo, 2003). Pendidikan sangat berpengaruh terhadap perilaku klien yang dimunculkan di masyarakat. Pendidikan sangat diperlukan manusia untuk mendapatkan informasi. Makin tinggi pendidikan seseorang, makin mudah pula mereka menerima informasi dan pengetahuan yang mereka miliki. Pada seseorang yang berpendidikan lebih tinggi akan lebih mampu mengatasi serta menggunakan kemampuan yang efektif dari pada seseorang yang berpendidikan lebih rendah. Begitu juga sebaliknya semakin rendah pendidikan maka individu akan kurang untuk bersosialisasi.

Pengetahuan merupakan hasil tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Soekidjo Notoatmodjo, 2007). Dengan demikian makin banyak mereka mendengar, melihat dan merasakan terlebih ia mau mencobanya, maka ia akan memperoleh banyak pengetahuan tetapi apabila ia tidak pernah sama sekali melakukan upaya untuk merasakan atau melihat dan mendengar tentang informasi penting, maka ia dapat dipastikan akan mengalami ketidaktahuan sehingga ia akan mengalami hambatan bersosialisasi dengan masyarakat.

Menurut Wahit Iqbal Mubarok (2007) salah satu faktor mempengaruhi pengetahuan adalah umur seseorang, akan terjadi aspek fisik dan psikologi (mental). Bertambahnya umur seseorang memimbulkan kematangan dalam proses berfikir. Namun dengan keterbatasannya penderita tidak dapat berfikir secara baik sehingga terjadi hambatan bersosialisasi dalam masyarakat. Sedangkan pada usia muda mereka cenderung tidak peduli dengan kondisi penyakitnya sehingga resosialisasi berjalan dengan baik.

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya mampu untuk ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Salah seorang psikolog sosial mengatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan metode tertentu (Soekidjo Notoatmodjo, 2007). Jika individu mempunyai pandangan baik tentang dirinya maka individu tersebut akan dapat bersosialisasi dengan masyarakat. Sebaliknya jika pandangan buruk tentang dirinya maka resosialisasi individu akan terhambat.

Lingkungan merupakan segala sesuatu yang berada di sekitar manusia serta pengaruh luar yang mempengaruhi kehidupan dan perkembangan manusia (Nasrul Efendi, 2002). Faktor lingkungan merupakan faktor yang sangat penting dan mempengaruhi keberhasilan pengobatan pasien kusta. Penderita yang hidup di lingkungan yang mempunyai stigma buruk pada penderita kusta, maka beban yang diderita oleh penderita semakin tinggi dan proses pengobatan tidak dapat berjalan dengan baik yang akhirnya pasien akan terisolasi dari lingkungannya. Sedangkan lingkungan yang mendukung penderita kusta untuk bersosialisasi maka penderita akan merasa percaya diri terhadap dirinya meskipun terdapat kecacatan dalam dirinya.

Sosial ekonomi merupakan segala kegiatan yang bisa menghasilkan uang dan juga termasuk cakupan rumah tangga (Depdiknas, 2002). Tingkat ekonomi seseorang dapat mempengaruhi derajat kesehatannya. Hal ini terbukti bahwa penderita kusta yang status ekonominya lebih tinggi sulit bersosialisasi dengan masyarakat karena mereka merasa malu. Sedangkan penderita yang status ekonominya rendah lebih mudah bersosialisasi dengan masyarakat karena dipengaruhi oleh faktor pekerjaanya dan tuntutan ekonomi.

Program pemberantasan penyakit kusta di Kabupaten .............. dilaksanakan secara lintas program yaitu bersamaan dengan program lain yang ada di Puskesmas, sedangkan lintas sektoral dilaksanakan dengan melibatkan instansi lain seperti Dinas Pendidikan, Kecamatan dan Desa melalui PKK, Perkumpulan/Organisasi Pemuda Karang Taruna, Kelompok Wira Usaha (Pengusaha), perkumpulan-perkumpulan keagamaan yang ada di Desa di Kabupaten .............. strategi penemuan penderita baru dilaksanakan dengan cara aktif dan pasif di seluruh Puskesmas di Kabupaten .............. yang meliputi pemberian pelayanan pada penderita yang datang ke puskesmas-puskesmas dan Rumah sakit utamanya, Contac Survey dilaksanakan satu tahun sekali, School Survey dilaksanakan pada anak SD/MI sederajat sampai SMA sederajat hingga perguruan tinggi di naungan wilayah Kabupaten .............. setiap tahun, Case Survey (CS) dan Repeet Velage Survey (RVS).

Dengan upaya-upaya tersebut di atas diharapkan dapat ditemukan penderita sedini mungkin atau belum terjadi kecacatan dan diharapkan kesadaran masyarakat untuk memeriksakan diri apabila ada kelainan kulit (bercak pada kulit), serta tetap memperhatikan psikologis penderita yang datang berobat tersebut.

Upaya untuk menurunkan rasa malu di masyarakat pada penderita kusta adalah dengan pemberian penyuluhan yang berkesinambungan pada penderita yang bersangkutan secara langsung dan pada seluruh masyarakat luas tentang kusta. Peran perawat untuk menunjang kualitas hidup para penderita sangat penting dengan pemberian asuhan keperawatan yang komprehensif meliputi biopsikososial dan spiritual pada penderita kusta.

    1. Rumusan Masalah

Pertanyaan masalah yang muncul dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : “Bagaimana Gambaran Resosialisasi Penderita Kusta Pasca Pengobatan di Wilayah Puskesmas Kalitengah Kabupaten ..............?”.


    1. Tujuan Penelitian

Mengetahui Gambaran Resosialisasi Penderita Kusta Pasca Pengobatan di Wilayah Puskesmas Kalitengah Kabupaten ...............

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Profesi Keperawatan

Membuka wawasan yang lebih luas pada masyarakat tentang penyakit kusta dan pengobatannya sehingga program pemerintah dapat berjalan dengan baik.

1.4.2 Bagi Insitusi Pendidikan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi profesi dalam memberikan perawatan pada penderita kusta pasca pengobatan dengan memperhatikan faktor psikologi dan sosialnya.

1.4.3 Bagi peneliti selanjutnya

Dapat dipakai sebagai refrensi dalam penelitian lain terutama penelitian tentang penyakit kusta khususnya dampak sosial penderitanya.

Comments

Popular posts from this blog

Hubungan antara peran keluarga dan tingkat kecemasan Ibu hamil untuk melakukan hubungan sexual selama kehamilan trimester III

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada manusia sexualitas dapat dipandang sebagai pencetus dari hubungan antara individu, dimana daya tarik rohaniah dan badaniah atau psikofisik menjadi dasar kehidupan bersama antara 2 insan manusia (Hanifa Wiknjosastro, 1999:589). Menurut A. Maslow dikutip oleh Soekidjo Notoatmodjo (2003:500, mengemukakan bahwa kebutuhan manusia terdiri dari 5 tingkat, yaitu kebutuhan fisik, keamanan, pengalaman dari orang lain, harga diri dan perwujudan diri. Maslow juga mengungkapkan bahwa kebutuhan manusia yang paling dasar harus terpenuhi dahulu sebelum seseorang mampu mencapai kebutuhan yang lebih tinggi tingkatannya. Salah satu dari kebutuhan fisik atau kebutuhan yang paling dasar tersebut adalah sexual. Kebutuhan sexual juga harus diperhatikan bagaimana cara pemenuhannya seperti halnya dengan kebutuhan fisik lainnya, meskipun seseorang dalam keadaan hamil. 1 Walaupun sebenarnya sexual

gambaran pengetahuan keluarga dalam perawatan pasien gangguan jiwa Skizofrenia di URJ Psikiatri

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Gangguan jiwa merupakan salah satu dari empat masalah kesehatan utama di Negara maju, modern dan industri keempat masalah kesehatan utama tersebut adalah penyakit degeneratif, kanker, gangguan jiwa, dan kecelakaan. Meskipun gangguan jiwa tersebut tidak dianggap sebagai gangguan yang menyebabkan kematian secara langsung namun beratnya gangguan tersebut dalam arti ketidakmampuan serta identitas secara individu maupun kelompok akan menghambat pembangunan, karena mereka tidak produktif dan tidak efisien (Dadang Hawari, 2001 : ix ). Gangguan jiwa Skizofrenia tidak terjadi dengan sendirinya begitu saja akan tetapi banyak faktor yang menyebabkan terjadinya gejala Skizofrenia . Berbagai penelitian telah banyak dalam teori biologi dan berfokus pada penyebab Skizofrenia yaitu faktor genetik, faktor neurotomi dan neurokimia atau struktur dan fungsi otak serta imunovirologi atau respon tubuh terhadap perjalanan suatu virus (Sheila L Videbec

gambaran pengetahuan ibu tentang pemberian MP-ASI pada bayi usia 0-6 bulan

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan dan minuman yang paling sempurna bagi bayi selama bulan-bulan pertama kehidupannya (Margaret Lowson, 2003). Sejak awal kelahirannya sampai bayi berusia 6 bulan, ASI merupakan sumber nutrisi utama bayi. Komposisi ASI sempurna sesuai kebutuhan bayi sehingga walaupun hanya mendapatkan ASI dibeberapa bulan kehidupannya, bayi bisa tumbuh optimal. ASI sangat bermanfaat untuk kekebalan tubuh bayi karena didalamnya terdapat zat yang sangat penting yang sudah terbukti melawan berbagai macam infeksi, seperti ISPA, peradangan telinga, infeksi dalam darah dan sebagainya. Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) merupakan makanan lain yang selain ASI. Makanan ini dapat berupa makan yang disiapkan secara khusus atau makanan keluarga yang dimodifikasi (Lilian Juwono: 2003). Pada umur 0-6 bulan, bayi tidak membutuhkan makanan atau minuman selain ASI. Artinya bayi hanya memperoleh susu ibu tanpa tambahan cairan lain,