Skip to main content

perbedaan kemampuan bantu diri anak autis yang mengikuti program full day dan half day school di Sekolah Anak Berkebutuhan Khusus Mutiara

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Autisme secara langsung atau tidak langsung menentukan kualitas SDM di kemudian hari (Hembing, 2003). Penyandang autisme memiliki ketidakmampuan dalam berkomunikasi baik secara nonverbal maupun verbal, interaksi sosial, dan dalam menggunakan aktivitas di waktu luang atau bermain (Parwati, 2004). Terapi yang diberikan biasanya adalah terapi untuk mengembangkan ketrampilan-ketrampilan dasar seperti, ketrampilan berkomunikasi. Terapi lain yang diberikan juga membantu anak autis untuk mengembangakan ketrampilan bantu diri (SLB Cibinong, 2007). Kemampuan bantu diri bertujuan untuk memampukan anak hidup mandiri dalam kehidupan rutin setiap hari, yaitu makan, minum, mandi, ke WC, memakai dan melepas baju, memakai dan melepas kaos kaki, dan lain-lain (Handojo, 2003). Menyekolahkan anak di full day school telah menjadi tren bagi orang tua yang keduanya bekerja (Herdiana, 2007). Berdasarkan penelitian menyebutkan anak yang mengambil full day program menunjukkan keunggulan akademik dan performa (percaya diri berhadapan dengan orang lain) yang lebih baik. Penelitian lain menyebutkan bahwa half day program dapat menyediakan kualitas pendidikan lebih tinggi serta dapat mengasah pengalaman sosial anak agar lebih peka dan tajam terhadap lingkungan sekitar (Elhisyam, 2009). Berdasarkan data awal yang diperoleh dari Sekolah Anak Berkebutuhan Khusus Mutiara Hati Sidoarjo ada 24 anak dengan autisme. Dari 9 anak yang mengikuti full day school, 1 anak berusia 4 tahun, 1 anak berusia 6 tahun, 1 anak berusia 7 tahun, 1 anak berusia 8 tahun, 1 anak berusia 10 tahun, 1 anak berusia 11 tahun, 2 anak berusia 13 tahun, dan 1 anak berusia 16 tahun. Dari 15 anak yang mengikuti half day school, 1 anak berusia 6 tahun, 4 anak berusia 7 tahun, 3 anak berusia 8 tahun, 2 anak berusia 9 tahun, 3 anak berusia 10 tahun, dan 1 anak berusia 11 tahun. Namun, perbedaan kemampuan bantu diri anak autis yang mengikuti program full day dan half day school belum diketahui.
Penelitian di berbagai negara menunjukkan prevalensi autisme yang bersifat universal (Azwandi, 2005). Di Indonesia angka kejadian autis mengalami peningkatan setiap tahunnya. Penelitian terakhir tahun 2007 mencapai 1:96, hal ini berarti setiap kelahiran 96 bayi maka satu diantaranya menderita autis (Pikiran rakyat, 2007). Holmes (1998) mengatakan bahwa perbandingan penderita autistik laki-laki dan perempuan sekitar 4:1 dan terdapat dalam semua lapisan masyarakat etnis, ras, agama, status sosial ekonomi serta demografi (Djamaluddin, 2006) dalam skripsi Dinna Mardiana (2008). Terdapat sejumlah informasi sehubungan dengan gejala-gejala yang menyertai gangguan autisme: 64% memiliki kemampuan untuk memusatkan perhatian yang buruk, 36-48% menderita hiperaktivitas, 43-88% memusatkan perhatian pada hal-hal ganjil, 37% memperlihatkan fenomena obsesif, 16-60% memperlihatkan ledakan-ledakan emosional/ ritualistik, 50-89% mengucapkan kata-kata stereotip, 68-74% memperlihatkan manerisme stereotip, 17-74% mengalami rasa takut yang tidak wajar, 9-44% memiliki gejolak perasaan depresif, agitatif, serta tidak wajar, 11% mengalami gangguan tidur, 24-43% pernah melukai dirinya sendiri, dan 8% gemar menggerak-gerakkan badannya (Maulana, 2008).
Menurut Kusuma (2008) menolong diri sendiri adalah kemampuan dan keinginan melakukan segala sesuatu sendiri. Bantu diri mencakup aktivitas makan, mandi, berpakaian, buang air kecil, dan air besar sendiri. Ketrampilan bantu diri merupakan cikal bakal kemandirian anak. Tanpa dilatih sejak dini, anak-anak tidak akan tahu bagaimana harus membantu dirinya sendiri. Jika anak tumbuh menjadi pribadi mandiri berarti ia memiliki sejumlah kelebihan, diantaranya tidak bergantung sepenuhnya pada orang lain, tidak mudah panik bila menghadapi situasi baru/ berbeda, tumbuh menjadi individu yang kreatif, tidak mudah frustasi setiap kali menghadapi benturan atau menemui kesulitan, tumbuh menjadi pribadi yang disukai dalam pergaulan, rasa percaya dirinya berkembang optimal, dan ketrampilan motoriknya berkembang dengan baik. Menurut ringkasan penelitian, ketertarikan kebanyakan masyarakat terhadap full day school dilatarbelakangi karena meningkatnya jumlah orang tua terutama ibu yang bekerja. Berdasarkan penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa sebagian pelajar yang mengambil full day program menunjukkan keunggulan akademik dan performa yang lebih baik dibanding pelajar yang mengambil half day program. Namun poin kritis full day program terletak pada biaya yang mahal (Elhisyam, 2009). Anak-anak yang mengikuti program full day school akan banyak kehilangan waktu di rumah dan belajar tentang hidup bersama keluarganya. Padahal sesungguhnya sekolah terbaik ada di dalam rumah dan pada keluarga (Herdiana, 2009). Berbeda dengan half day program, dijelaskan bahwa half day program dapat menyediakan kualitas pendidikan yang lebih tinggi serta dapat mengasah pengalaman sosial anak agar lebih peka dan tajam terhadap lingkungan sekitarnya. Lebih lanjut disebutkan, half day program memberikan pengalaman yang sistematis dan waktu yang lebih banyak dalam menyelesaikan masalah untuk menghindari stress (Elhisyam, 2009).
Aktivitas perilaku seorang anak sebenarnya dimulai dengan belajar menirukan karena merupakan dasar untuk belajar dan berkembang. Kemampuan menirukan menyangkut banyak faktor, termasuk motivasi, ingatan (memori), proses-proses pengolahan input auditori, visual, taktil, dan vestibular. Salah satu materi yang diajarkan berupa kemampuan bantu diri. Untuk melengkapi semuanya ini peranan orang tua sangat mempercepat kemampuan seorang anak, karena tidak mungkin fasilitas untuk mengajarkan semuanya ini mampu disediakan oleh pihak sekolah. Latihan bantu diri harus terus diajarkan dan dibiasakan di rumah masing-masing dalam kehidupan sehari-hari anak sehingga proses generalisasi lingkungan, subjek, objek, dan instruksi berjalan dengan tertib karena tidak semua anak autisme memiliki kemampuan akademik yang tinggi sehingga semua ketrampilan dapat dipakai untuk hidup mandiri tanpa bergantung kepada orang lain (Handojo, 2003). Dengan adanya pemilihan program sekolah yang tepat bagi seorang anak autis diharapkan akan mengoptimalkan kemampuan bantu diri seorang anak. Oleh karena itu, dibutuhkan pengkajian lebih lanjut melalui penelitian sehingga dapat ditemukan sejauh mana perbedaan kemampuan bantu diri anak autis yang mengikuti program full day dan half day school.

1.2 Rumusan Masalah
Bagaimanakah perbedaan kemampuan bantu diri anak autis yang mengikuti program full day dan half day school di Sekolah Anak Berkebutuhan Khusus Mutiara Hati Sidoarjo?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Menjelaskan perbedaan kemampuan bantu diri anak autis yang mengikuti program full day dan half day school di Sekolah Anak Berkebutuhan Khusus Mutiara Hati Sidoarjo.
1.3.2 Tujuan khusus
1. Mengidentifikasi kemampuan bantu diri anak autis yang mengikuti program full day school di Sekolah Anak Berkebutuhan Khusus Mutiara Hati Sidoarjo.
2. Mengidentifikasi kemampuan bantu diri anak autis yang mengikuti program half day school di Sekolah Anak Berkebutuhan Khusus Mutiara Hati Sidoarjo.
3. Menganalisis perbedaan kemampuan bantu diri anak autis yang mengikuti program full day dan half day school di Sekolah Berkebutuhan Khusus Mutiara Hati Sidoarjo.

1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi ilmiah dalam pengembangan ilmu keperawatan jiwa anak tentang program sekolah yang terbaik dalam meningkatkan kemampuan anak autisme khususnya kemampuan bantu diri sehingga perawat dapat memberikan solusi bagi orang tua dalam pemilihan pendidikan yang tepat.

1.4.2 Manfaat praktis
1. Penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan bagi orang tua dalam memilih program sekolah yang terbaik untuk anaknya .
2. Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan informasi bagi sekolah untuk mengembangkan program yang terbaik dalam mendidik dan menerapi anak autis .

Comments

Popular posts from this blog

Hubungan antara peran keluarga dan tingkat kecemasan Ibu hamil untuk melakukan hubungan sexual selama kehamilan trimester III

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada manusia sexualitas dapat dipandang sebagai pencetus dari hubungan antara individu, dimana daya tarik rohaniah dan badaniah atau psikofisik menjadi dasar kehidupan bersama antara 2 insan manusia (Hanifa Wiknjosastro, 1999:589). Menurut A. Maslow dikutip oleh Soekidjo Notoatmodjo (2003:500, mengemukakan bahwa kebutuhan manusia terdiri dari 5 tingkat, yaitu kebutuhan fisik, keamanan, pengalaman dari orang lain, harga diri dan perwujudan diri. Maslow juga mengungkapkan bahwa kebutuhan manusia yang paling dasar harus terpenuhi dahulu sebelum seseorang mampu mencapai kebutuhan yang lebih tinggi tingkatannya. Salah satu dari kebutuhan fisik atau kebutuhan yang paling dasar tersebut adalah sexual. Kebutuhan sexual juga harus diperhatikan bagaimana cara pemenuhannya seperti halnya dengan kebutuhan fisik lainnya, meskipun seseorang dalam keadaan hamil. 1 Walaupun sebenarnya sexual

gambaran pengetahuan keluarga dalam perawatan pasien gangguan jiwa Skizofrenia di URJ Psikiatri

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Gangguan jiwa merupakan salah satu dari empat masalah kesehatan utama di Negara maju, modern dan industri keempat masalah kesehatan utama tersebut adalah penyakit degeneratif, kanker, gangguan jiwa, dan kecelakaan. Meskipun gangguan jiwa tersebut tidak dianggap sebagai gangguan yang menyebabkan kematian secara langsung namun beratnya gangguan tersebut dalam arti ketidakmampuan serta identitas secara individu maupun kelompok akan menghambat pembangunan, karena mereka tidak produktif dan tidak efisien (Dadang Hawari, 2001 : ix ). Gangguan jiwa Skizofrenia tidak terjadi dengan sendirinya begitu saja akan tetapi banyak faktor yang menyebabkan terjadinya gejala Skizofrenia . Berbagai penelitian telah banyak dalam teori biologi dan berfokus pada penyebab Skizofrenia yaitu faktor genetik, faktor neurotomi dan neurokimia atau struktur dan fungsi otak serta imunovirologi atau respon tubuh terhadap perjalanan suatu virus (Sheila L Videbec

gambaran pengetahuan ibu tentang pemberian MP-ASI pada bayi usia 0-6 bulan

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan dan minuman yang paling sempurna bagi bayi selama bulan-bulan pertama kehidupannya (Margaret Lowson, 2003). Sejak awal kelahirannya sampai bayi berusia 6 bulan, ASI merupakan sumber nutrisi utama bayi. Komposisi ASI sempurna sesuai kebutuhan bayi sehingga walaupun hanya mendapatkan ASI dibeberapa bulan kehidupannya, bayi bisa tumbuh optimal. ASI sangat bermanfaat untuk kekebalan tubuh bayi karena didalamnya terdapat zat yang sangat penting yang sudah terbukti melawan berbagai macam infeksi, seperti ISPA, peradangan telinga, infeksi dalam darah dan sebagainya. Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) merupakan makanan lain yang selain ASI. Makanan ini dapat berupa makan yang disiapkan secara khusus atau makanan keluarga yang dimodifikasi (Lilian Juwono: 2003). Pada umur 0-6 bulan, bayi tidak membutuhkan makanan atau minuman selain ASI. Artinya bayi hanya memperoleh susu ibu tanpa tambahan cairan lain,